PENGARUH
FAKTOR GENETIK TERHADAP REPRODUKSI
Potensi
produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta
interaksi antara genetik dan lingkungan [ Karnaen dan Arifin, 2009]. Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa
ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian
tempat, bobot badan, penyakit,
kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas [Epaphras, et al., 2002].
Berbagai faktor yang memegang peranan penting dalam
mempengaruhi perkembangan embrio atau fetus didalam uterus induknya. Faktor
yang dapat menjadi penyebab terjadinya kematian embrio dini adalah salah
satunya adalah genetik.
Kematian embrio karena faktor genetik diturunkan
melalui gen letal atau terjadi mutasi selama gametogenesis yang menyebabkan
gangguan fertilitas. Kematian embrio dini pada sapi sering terjadi karena
perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek
yang dimiliki induk akan lebih sering muncul pada turunannya. Kematian embrio
dini karena faktor genetik memegang peranan cukup besar, yaitu sekitar 33 %
dari seluruh kasus kematian embrio dini. Sebelum implantasi, embrio lebih mudah
terkena pengaruh mutasi genetik dan kelainan kromosom (chromosomal aberration)
diikuti oleh kematian embrio dini. Kelainan kromosom dapat dibedakan atas
kelainan jumlah kromosom dan struktur kromosom. Kejadian ini tetap berlangsung
karena kegagalan penyebaran kromosom atau susunan kromatin dalam sel tubuh
penderita yang terjadi selama berlangsungnya proses meiosis dan mitosis dari
sel telur atau sel mani yang dapat menghasilkan 2 bentuk sel yang poliploid.
Aneuploid adalah kelainan kromosom hewan yang dapat terjadi karena pengurangan
jumlah kromosom yang normal (2n-1), sedang poliploid adalah penambahan jumlah
kromosom yang normal (2n+1). Kelainan tersebut di atas dapat menyebabkan
kematian embrio dini pada sapi. Bentuk kelainan kromosom yang menyebabkan kematian
embrio dini ini dapat terjadi pada sapi usia kebuntingan 8-16 hari.
Penanganan
atas mutasi genetik
Falconer dan Mackey (1996) menyatakan bahwa
keragaman sifat morfologi dapat terjadi karena adanya proses mutasi akibat
seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau
hanyutnya gen tertentu. Thompson dan Thoday (1979) menambahkan, mutasi
mempunyai peran penting untuk kemajuan seleksi, tergantung dari jumlah gen,
ukuran populasi, dan banyaknya generasi. Peningkatan genetik dalam populasi
yang kecil lebih rendah daripada dalam populasi yang besar. Populasi dalam
jumlah kecil dan memiliki hubungan dekat akan lebih kuat menghambat kemajuan
seleksi, selain itu hubungan dekat tersebut juga dapat memperlambat fiksasi
gen.
Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen antar
populasi atau spesies yang diukur menggunakan beberapa kuantitas numerik.
Pengukuran jarak genetik dapat dilakukan dengan cara memperkirakan jumlah
subtansi gen atau kodon per lokus antar dua populasi, sehingga dapat dicoba
untuk menghubungkan dinamika populasi dan frekuensi gen terhadap subsitusi
kodon per kodon (Nei, 1987). Penelitian pendugaan jarak genetik dapat dilakukan
dengan menggunakan metode yang lebih murah dan sederhana, yaitu melalui
penentuan pola perbedaan sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap
individu ternak (Hartl, 1988). Nei (1987) menjeleskan statistik Mahalonobis (D2)
merupakan pengukuran jarak untuk karakter kuantitatif yang paling sering
digunakan. Pengukuran jarak genetik didasarkan pada jarak suatu organisme atau
gen yang berhubungan sehingga efek polimorfisme dalam populas diabaikan.
Pengukuran paling sederhana dari jarak genetik diberi nama Jarak Genetik
Minimum (Dm) dan dimaksudkan untuk mengukur jumlah minimum
dari perbedaan kodon per lokus.
Analisis
Kanonikal
Wiley
(1981) menyatakan analisis variat kanonikal digunakan untuk mendapatkan
kombinasi karakter yang membedakan secara keseluruhan. Selain itu,
karakteristik fenotipe antar dua atau lebih populasi dapat digunakan untuk menggambar
plot skor guna membandingkan variabilitas/keragaman di dalam dan di antara
populasi pada dimensi yang kecil. Istilah lain dari analisis variat kononikal
antara lain analisis kanonikal, analisis diskriminan berganda atau analisis
fungsi diskriminan. Analisis kanonikal merupakan suatu metode perancangan
reduksi data untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih karakter serta
membagi ragam total dari semua karakter menjadi variabel baru dalam jumlah
terbatas yang tidak berkorelasi.
Gazpersz (1995) menjelaskan analisis kanonikal dalam
metodologi permukaan respon pada dasarnya adalah mentransformasikan permukaan
respon ke dalam bentuk kanonikal. Untuk menjelaskan tentang analisis kanonikal,
maka perlu dikemukakan beberapa konsep teoritik yang berkaitan dengan analisis
model ordo kedua (model kuadratik).
Hal yang tidak dapat kita pungkiri sapi potong yang memiliki
fenotipe yang tidak cukup baik, misalnya sapi bali. Rata-rata sapi potong yang
ada di Sulawesi Selatan memiliki performa yang relatif kecil. Hal ini karena
sapi-sapi tersebut biasanya berasal dari induk yang juga faktor enetiknya tidak
cukup bagus. Sehingga walaupun lingkungannya diperbaiki dan diberi pakan yang
baik, maka performa sapi potong tersebut tidak terlalu besar karena memang pada
dasarnya sudah kecil dari faktor genetiknya.
Daftar Pustaka
file:///D:/semester%204/produksi%20perah/kerbau%20perah%20net/POTENSI%20&%20GENETIKA%20KERBAU%20DI%20INDONESIA%20%C2%AB%20Jauzanoey%27s%20Blog.htm
t693q5dndaw695 anal vibrators,masturbators,sex chair,g-spot dildos,dog dildo,realistic dildo,realistic sex dolls,wholesale sex toys,wolf dildo u917y5scpho542
BalasHapus