Rabu, 28 November 2012

Reproduksi Ternak


PENGARUH FAKTOR GENETIK TERHADAP REPRODUKSI

Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan [ Karnaen dan  Arifin, 2009]. Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat,  bobot badan, penyakit, kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas [Epaphras, et al., 2002].
Berbagai faktor yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan embrio atau fetus didalam uterus induknya. Faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kematian embrio dini adalah salah satunya adalah genetik.
Kematian embrio karena faktor genetik diturunkan melalui gen letal atau terjadi mutasi selama gametogenesis yang menyebabkan gangguan fertilitas.  Kematian embrio dini pada sapi sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk akan lebih sering muncul pada turunannya. Kematian embrio dini karena faktor genetik memegang peranan cukup besar, yaitu sekitar 33 % dari seluruh kasus kematian embrio dini. Sebelum implantasi, embrio lebih mudah terkena pengaruh mutasi genetik dan kelainan kromosom (chromosomal aberration) diikuti oleh kematian embrio dini. Kelainan kromosom dapat dibedakan atas kelainan jumlah kromosom dan struktur kromosom. Kejadian ini tetap berlangsung karena kegagalan penyebaran kromosom atau susunan kromatin dalam sel tubuh penderita yang terjadi selama berlangsungnya proses meiosis dan mitosis dari sel telur atau sel mani yang dapat menghasilkan 2 bentuk sel yang poliploid. Aneuploid adalah kelainan kromosom hewan yang dapat terjadi karena pengurangan jumlah kromosom yang normal (2n-1), sedang poliploid adalah penambahan jumlah kromosom yang normal (2n+1). Kelainan tersebut di atas dapat menyebabkan kematian embrio dini pada sapi. Bentuk kelainan kromosom yang menyebabkan kematian embrio dini ini dapat terjadi pada sapi usia kebuntingan 8-16 hari.
Penanganan atas mutasi genetik
Falconer dan Mackey (1996) menyatakan bahwa keragaman sifat morfologi dapat terjadi karena adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen tertentu. Thompson dan Thoday (1979) menambahkan, mutasi mempunyai peran penting untuk kemajuan seleksi, tergantung dari jumlah gen, ukuran populasi, dan banyaknya generasi. Peningkatan genetik dalam populasi yang kecil lebih rendah daripada dalam populasi yang besar. Populasi dalam jumlah kecil dan memiliki hubungan dekat akan lebih kuat menghambat kemajuan seleksi, selain itu hubungan dekat tersebut juga dapat memperlambat fiksasi gen.
Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen antar populasi atau spesies yang diukur menggunakan beberapa kuantitas numerik.  Pengukuran jarak genetik dapat dilakukan dengan cara memperkirakan jumlah subtansi gen atau kodon per lokus antar dua populasi, sehingga dapat dicoba untuk menghubungkan dinamika populasi dan frekuensi gen terhadap subsitusi kodon per kodon (Nei, 1987). Penelitian pendugaan jarak genetik dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang lebih murah dan  sederhana, yaitu melalui penentuan pola perbedaan sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap individu ternak (Hartl, 1988). Nei (1987) menjeleskan statistik Mahalonobis (D2) merupakan pengukuran jarak untuk karakter kuantitatif yang paling sering digunakan. Pengukuran jarak genetik didasarkan pada jarak suatu organisme atau gen yang berhubungan sehingga efek polimorfisme dalam populas diabaikan. Pengukuran paling sederhana dari jarak genetik diberi nama Jarak Genetik Minimum (D­m) dan dimaksudkan untuk mengukur jumlah minimum dari perbedaan kodon per lokus.
Analisis Kanonikal
Wiley (1981) menyatakan analisis variat kanonikal digunakan untuk mendapatkan kombinasi karakter yang membedakan secara keseluruhan. Selain itu, karakteristik fenotipe antar dua atau lebih populasi dapat digunakan untuk menggambar plot skor guna membandingkan variabilitas/keragaman di dalam dan di antara populasi pada dimensi yang kecil. Istilah lain dari analisis variat kononikal antara lain analisis kanonikal, analisis diskriminan berganda atau analisis fungsi diskriminan. Analisis kanonikal merupakan suatu metode perancangan reduksi data untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih karakter serta membagi ragam total dari semua karakter menjadi variabel baru dalam jumlah terbatas yang tidak berkorelasi.
Gazpersz (1995) menjelaskan analisis kanonikal dalam metodologi permukaan respon pada dasarnya adalah mentransformasikan permukaan respon ke dalam bentuk kanonikal. Untuk menjelaskan tentang analisis kanonikal, maka perlu dikemukakan beberapa konsep teoritik yang berkaitan dengan analisis model ordo kedua (model kuadratik).
Hal yang tidak dapat kita pungkiri sapi potong yang memiliki fenotipe yang tidak cukup baik, misalnya sapi bali. Rata-rata sapi potong yang ada di Sulawesi Selatan memiliki performa yang relatif kecil. Hal ini karena sapi-sapi tersebut biasanya berasal dari induk yang juga faktor enetiknya tidak cukup bagus. Sehingga walaupun lingkungannya diperbaiki dan diberi pakan yang baik, maka performa sapi potong tersebut tidak terlalu besar karena memang pada dasarnya sudah kecil dari faktor genetiknya.


Daftar Pustaka
file:///D:/semester%204/produksi%20perah/kerbau%20perah%20net/POTENSI%20&%20GENETIKA%20KERBAU%20DI%20INDONESIA%20%C2%AB%20Jauzanoey%27s%20Blog.htm



















1 komentar: